Why Should You Enroll In The Best HVAC Training Schools In MI?

Choosing a well-informed career can open numerous doors to personal growth and financial gain. An HVAC course with placement in MI promises aspirants a handsome income with job satisfaction. This…

Smartphone

独家优惠奖金 100% 高达 1 BTC + 180 免费旋转




Menanti UU Perlindungan Data Pribadi

Hampir setiap hari pengguna telepon genggam di Indonesia menerima pesan pendek dari nomor tak dikenal. Isinya soal pinjaman dana instan, pengumuman pemenang undian dari brand tertentu, pesan berisikan nomor rekening yang bisa ditransfer, dan ragam kedok tipu muslihat lainnya. Meski banyak dari kita yang sudah punya kesadaran bahwa pesan-pesan tersebut bernada penipuan, tapi ternyata masih tetap ada juga yang terperangkap dan menanggung nasib malang.

Terkadang saya berpikir, dari mana sebenarnya oknum pengirim pesan itu mendapatkan nomor handphone kita?

Tapi, saya punya cerita menarik lain soal jual beli nomor telepon. Sekitar tahun 2010 saat baru lulus dari kampus, saya melamar menjadi staf humas di salah satu perusahaan di Medan. Ketika dipanggil untuk tes, ternyata para peserta malah diarahkan menjadi broker saham. Walau pengalaman ini cukup menyebalkan, tapi ada satu pernyataan dari staf perusahaan itu yang terngiang di kepala saya, yakni tentang bagaimana cara mendapatkan investor kelas kakap.

Jamak diketahui bahwa untuk menjual produk, kita harus membuat jaringan agar bisa menangkap target yang kita mau. Nah, staf perusahaan ini menyarankan para peserta tes yang notabene adalah mahasiswa baru lulus kemarin sore untuk membeli data nomor telepon di dealer-dealer mobil, khususnya mobil mewah. Tentu saja tidak lewat jalur resmi, tapi lewat jaringan pribadi alias japri dengan pegawai dealer mobil yang ditarget. Dengan asumsi bahwa kita sudah punya nomor telepon orang-orang kaya, selanjutnya kita bisa mendekati mereka dan merayu pemilik fulus tersebut untuk berinvestasi saham.

Tips di atas seperti intrik drama politik, tapi hal itu pula yang menyadarkan saya bahwa begitu gampangnya data pribadi kita diperjualbelikan.

Pengalaman saya mungkin cukup usang, satu dekade lalu. Saat itu ekonomi digital belum meledak seperti dewasa ini. Kalau berbicara tentang aktivitas digital di atas tahun 2010, datanya bisa membuat kita menganga.

Dari jumlah user e-commerce yang mencapai lebih dari setengah penduduk Indonesia bisa kita tahu bahwa ada ratusan juta data pribadi yang disimpan oleh para penyelenggara e-commerce maupun marketplace. Data itu meliputi nama lengkap, alamat, email, dan nomor telepon. Sementara data lain seperti jenis kelamin dan tanggal lahir biasanya bersifat optional.

Namun menariknya, di beberapa e-commerce menawarkan promo ulang tahun bila costumer mau mengisi data tanggal lahir. Kalau kita mencoba kritis, dalam menjalankan bisnis tentu pengusaha tidaklah begitu bermurah hati. Kapitalisme telah mengajarkan kita untuk bisa cakap dalam mengakumulasi modal guna meraih keuntungan. Apakah mungkin tanggal lahir atau data pribadi umum kita adalah sebuah komoditas?

Benang merah dari uraian di atas adalah data pribadi bukan hal sepele dan keberadaannya harus dilindungi agar tidak merugikan pemilik data maupun memberikan keuntungan sepihak bagi oknum yang menyalahgunakannya.

Perlindungan data pribadi penting disegerakan. Hal ini harus dilakukan otoritas lewat jalur paling mengikat dalam kehidupan bernegara yakni undang undang.

Memang benar bahwa selama ini pemerintah sudah mengatur perihal aktivitas di internet. Namun hal tersebut masih dirasa kurang, karena aturan tentang perlindungan data pribadi masih terpisah-pisah di beberapa undang-undang. Oleh karenanya diperlukan satu undang-undang yang khusus secara komprehensif mengatur perlindungan data pribadi. Alasan ini pula yang menjadi pertimbangan dalam pembentukan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP).

Ruang lingkup yang diusulkan mencakup pengaturan tentang jenis data pribadi, hak pemilik data, pemrosesan data pribadi, kewajiban dan tanggung jawab pengendali dan prosesor data pribadi, transfer data, hingga penyelesaian sengketa dan ketentuan sanksi administrasi/pidana.

Draf RUU PDP pasal 3 membagi data pribadi menjadi dua yakni data pribadi umum dan data pribadi spesifik. Data pribadi umum meliputi nama lengkap, jenis kelamin, kewarganegaraan, agama, dan/atau data pribadi yang dikombinasikan untuk mengidentifikasi seseorang termasuk nomor telepon. Sementara data pribadi yang bersifat spesifik di antaranya data kesehatan, data biometrik (rekam sidik jari, retina mata, sample DNA), data genetika, kehidupan/orientasi seksual, pandangan politik, catatan kejahatan, data anak, data keuangan pribadi, dan/atau data lain yang sesuai dengan perundang-undangan.

RUU ini juga mengatur ketentuan pidana untuk pelanggaran terhadap pelindungan data pribadi. Misalnya pada Pasal 61 disampaikan, setiap orang yang sengaja memperoleh atau mengumpulkan data pribadi yang bukan miliknya dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum atau dapat mengakibatkan kerugian pemilik data pribadi dipidana dengan penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 50 miliar.

Kompas pada 24 Maret 2021 mewartakan bahwa RUU ini terancam buntu. Salah satu alasannya adalah waktu mepet dan masih ada perbedaan pandangan antara DPR dan pemerintah. Di antaranya terkait dengan keberadaan lembaga pengawas independen. DPR menginginkan ada lembaga itu, namun pemerintah tidak mengaturnya dalam draf.

Selama dua minggu terakhir, pembicaraan tentang RUU PDP mengalami sorotan. Pasalnya, hingga pertengahan Maret 2021, DPR belum juga mengetok Prolegnas 2021. Hal itu memicu kegundahan banyak pihak, waswas kalau RUU ini tidak akan masuk Prolegnas. Namun akhirnya pada tanggal 23 Maret, Ketua DPR Puan Maharani mengesahkan 33 RUU untuk dibahas dalam program legislasi tahun ini. Termasuk RUU PDP.

Sumber: Newstensity

Nama yang paling banyak muncul dalam pemberitaan terkait RUU PDP berasal dari pihak Kominfo di antaranya Menteri Jhonny dan Direktur Tata Kelola Aplikasi Informatika Kominfo Mariam F Barata. Kominfo sebagai pengusung RUU PDP memang aktif menyinggung pembahasan perihal pengesahan di media. Terlebih RUU ini sudah diupayakan dari 9 tahun yang lalu.

Sumber: Newstensity
Sumber: Newstensity

Dari ulasan ini kita ketahui bahwa media pada umumnya mendorong RUU PDP untuk diselesaikan tahun ini , namun tetap harap-harap cemas kalau asa itu tidak tuntas.

Selain melindungi data pribadi, tujuan dari RUU PDP adalah untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat serta menjamin pengakuan dan penghormatan atas pentingnya perlindungan data pribadi. Tapi sebenarnya, seberapa sadar masyarakat atas data pribadi mereka?

Namun di sisi lain kesadaran atas data pribadi di Indonesia memang masih cukup rendah. Orang Indonesia relatif mudah untuk menceritakan tentang tempat tinggal, tanggal lahir, dan hubungan kekerabatan. Selain itu, orang Indonesia juga cenderung tidak keberatan untuk menyerahkan kartu tanda penduduk (KTP) atau kartu identitas lain kepada orang lain. Di media sosial, ada netizen Indonesia yang tidak ragu mencantumkan alamat hingga nomor telepon, maupun hubungan kekeluargaan di internet.

Sumber: Socindex

Ternyata selama dua minggu terakhir, pembicaraan mengenai RUU PDP memang sangat minim. Percakapan mulai naik ketika DPR menetapkan RUU ini masuk dalam Prolegnas 2021. Hastag yang banyak muncul di ataranya #dataprivacy, #RUUPDP, #DataProtection, dan #IdeKataData2021. Hastag Kata Data muncul karena media ini melakukan serangkaian diskusi tentang RUU PDP.

Sumber Socindex

Kebanyakan percakapan diinisiasi oleh anggota DPR, lembaga survei, akun media, dan pekerja media. Top account untuk isu ini adalah Politisi PKS Mardani Ali Sera.

Cuitan Mardani terkesan ingin menekankan sikap DPR tentang keberadaan lembaga pengawas independen. Seperti disebut dalam ulasan sebelumnya, ada perbedaan pandangan tentang lembaga pengawas independen antara DPR dan pemerintah. Perbedaan ini pula yang membuat bahasan menjadi alot.

Sementara itu, postingan lain dibuat oleh media dan pekerja media yang mempublikasi pemberitaan maupun acara yang diselenggarakan terkait RUU PDP. Selain itu, postingan juga muncul dari lembaga survei yang mencoba memantik diskusi soal RUU PDP di dunia maya.

Dari uraian percakapan di media sosial ini bisa kita lihat bahwa isu soal pentingnya RUU PDP masih berputar di kalangan-kalangan tertentu, di antaranya politisi, media, dan lembaga survei. Artinya kesadaran atas urgensi RUU PDP belum muncul di kalangan masyarakat umum.

Revolusi teknologi telah membuat kita jadi bagian dari lumbung data. Terkadang kalau lengah kita tak sadar bahwa data pribadi kita, perilaku kita, kegemaran kita, preferensi politik kita, semuanya sedang direkam. Oleh karena itu, perlu dibangun rasa aman untuk berjalan berdampingan dengan keterbukaan informasi ini. Pun, semoga kesadaran kita tentang pentingnya data pribadi serta bahaya menyebar-nyebarkannya di era kiwari akan semakin bertaji.

Add a comment

Related posts:

Product Management Aspirations

I am a Software Development Engineer in Test (SDET) and have been involved in Software Quality and Testing for 14 years. In that time, I have been part of companies both large and small in a variety…

DataFrames 101

The daily workflow of a data scientist involves data cleaning, data analysis, data modeling, and organization of the results in a presentable manner. Many languages did not have everything that data…